STORY BOARD
dejavu
Rabu, 10 Juli 2013
Rabu, 09 Januari 2013
Selasa, 11 Desember 2012
makalah filsafat islam
POKOK
POKOK PEMIKIRAN MULLA SHADRA
MAKALAH
Tugas
mata kuliah : Filsafat Islam
Dosen
Pengampu : Bpk. Komarudin, M.Ag
Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran (KPI)
![]() |
Oleh:
Luluk inayati
101211063
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
1.
PENDAHULUAN
Mulla shadra diakui oleh banyak kalangan sebagai salah
satu filosof islam terbesar di sepabjang sejarah islam, sekurang-kurangnya
dalam empat abad terakhir. Pengaruh milenialnya tampak dari kenyataan bahwa
pemikirannya hamper selalu menjadi rujukan dalam pembicaraan tentang
pembicaraan filsafat islam dewasa ini.
Filsafat Hikmah shadra memiliki posisi istimewa, dan
menandai perkembangan menentukan, dalam lanskap filsafat islam. Keistimewaan
itu, menurut Fazlur Rahman, seorang filosofis islam terkemuka yang melakukan
kajian kritis atas pemikiran shadra , terletak pada kenyataan bahwa ia tidak
hanya melakukan rekonsilisasi atau kompromi atas arus – arus pemikiran yang
berkembang pada zamannya. tetepi bahkan melakukan sintesis yang orisinal lagi
solit atas arus-arus pemikiran yang sebelumnya selalu dipandang sebagai saling
berlawanan itu.
Dengan menyatupadukan empat aliran yang berbeda-beda,
filsafat Hikmah dianggap menawarkan jalan keluar yang paling argumentatif atas
problem yang diperdebatkan.
2.
RUMUSAN MASALAH
a.
Kehidupan mulla shadra
b.
Karya-karya mulla shadra
c.
Sumber pemikiran mulla shadra
d.
Pemikiran-pemikiran mulla shadra
3.
PEMBAHASAN
a. Kehidupan mulla shadra
Shadra hidup kira-kira dari tahun 980 H/ 1571 M sampai 1050
H/1640M. kehidupannya sejauh yang kita ketahui, terutama dicurahkan pada study
dan pengajaran filsafat dan teologi. Tahun-tahun masa dewasanya sebagian besar
berhubungan dengan kekuasaan Syah ‘Abbas 1. Upaya-upaya praktis yang lebih
langsung dari tulisannya banyak berhubungan dengan konflik-konflik dan
kesempatan-kesempatan baru yang diciptakan oleh kekuasaan Syiah tersebut
sebagai bentuk resmi agama.
Filsafat Shadra dan visinya yang lebih besar, meskipun
simpatinya yang nyata, tidak dapat diidentifikasi secara sederhana dengan atau
direduksi pada suatu posisi tunggal. Kemudian tujuan-tujuannya, adalah sungguh
radikal atau tidak dalam pengertrian masih dari pergerakan lain dalam siklus
aksi dan reaksi yang abadi dan sudah tua, tapi sebagai usaha prahmatis
perlahan-lahan yang hati-hati menggeser para dikma yang menjadi landasan
komunitas keseluruhan.
Shadra sangat sadar, pencapaian dari bentuk yang komprehensif
ini yang mengharmoniskan pemahaman dari symbol-simbol trasendensi yang di
syaratkan lebih dari sekedar sebuah konsepsi sintesis teologi-teologi yang
berkonflik. Karena itu supaya bermakna dan efektif selamanya, rekonsilisasi
konseptual dari tradisi-tradisi interprestasi tersebut harus ditampilkan dalam
suatu cara yang akan membimbing para pembaca dari masing-masing tradisi. Pada
saat yang sama mengarahkan setiap refleksi pembaca menuju perhatian-perhatian
dan pertimbangan-pertimbangan yang falid yang mendasari titik-titik pandang
yang secara nyata berlawanan. Tidak dapat dihindarkan akan muncul sangat
berbeda sesuai dengan kapasitas particular setiap pembaca dan titik
keberatannya.
b. Karya-karya mulla shadra
Tulisan-tulisan Mulla Shadra hamper semuanya dalam bahasa
arab yang terdiri dari tiga kategori:
1.
Komentar-komentar atas kitab
Prinsip-prinsip interpretative yang menbimbing dalam
konsep-konsep dalam komentar-komentar ini adalah sama seperti dalam karya-karya
filosofis sistematis Shadra. Komentar atas kitab yang independent ini, yang
memfokuskan hamper seluruhnya pada pertanyaan-pertanyaan transendensi dan
realisasi spiritual yang merupakan jantung dari filsafat Shadra, tampaknya
mempunyai tujuan ganda.Shadra mengenali bahwa jenis persuasi tidak langsung ini
adalah hanya satu-satunya cara yang benar dan efektif untuk mentrasformasikan
pandangan terbatas yang sempit dari mayoritas para legalis dan para ulama Syiah
yang berorientasi pada zamannya.
2.
Lembaran-lembaran incidental
Dalam kepura-puraan lahir yang dirahasiakan secara
telanjang dari sebuah kritisisme tradisional ekses-ekses antinomian yang
terkenal jahat dari para sufi tertentu yang vulgar. Hal ini menunjukkan sejenis
isu-isu praktis yang mendasari dua perhatian kunci dalam semua tulisan yang
lebih filosofis dari Shadra. Ia memperlihatkan peranan esensial dari jalan
realisasi trasendensi untuk setiap pemahaman yang cocok dengan
kehendak-kehendak wahyu dan mengklarifisasikan tujuan akhir dan
konsekuensi-konsekuensi dari pengetahuan dan keyakinan yang lebih dikenal,
untuk menghindarkan jebakan-jebakan.
3.
Tulisan-tulisan filosofis
Semua dari karya ini menganggap sebuah latar belakang
ekstensif dan tradisi teologis dan filosofis, bagi lefel-lefel berbeda
instruksi lisan dalam mazhab-mazhab teologis yang Shadra ajarkan didalamnya.
Dan komentar-komentar tersebut merupakan penjelasan secara langsung dimana
perspektif yang lebih orisinal dari Shadra. Untuk alas an-alasan ini, buku-buku
sistematik dapat dipercaya memberikan sebuah gambaran luas yang komplit dari
pemikiran yang dewasa dari Shadra.
c. Sumber pemikiran mulla shadra
Dari tulisan-tulisannya, kita kita mengrtahui betapa kayanya
bahan yang digunakan oleh mulla shadra. Dia mengutip sejak filsafat pra-
Socrates hingga berbagai pemikiran-pemikiran yang hidup pada zamannya. S.H.
Nashr bahkan menunjukkan mulla shadra sebagai sumber sejarah filsafat islam.
Disebutkan empat sumber utama dari ajaran Mulla Shadra. Pertama, filsafat
peribatetik islami, hususnya dari Ibnu shina dan melalui dialah filsafat
Aristoteles dan Neo Platonis sebagian besar ajarannya telah menjadi bagian dari
filsafat peripatetic islam. Kedua, teosofi Isyraqi dari Syuhrawardi dan para
pensyarahnya. Ketiga, ajaran tasawuf dari Ibn’ Arabi dan pembahas ajarannya.
Keempat, syariat islam, termasuk sabda Rosulullah dan Imam-imam Syi’ah.
Persoalan pertama yang digeluti oleh Mulla Sadra adalah
persoalan metafisika yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan.
Persoalan esensi dan eksistensi menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya.
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang
berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan
menjadi: (1) Aliran paripatetik; (2) Filsafat iluminasionis; (3) Irfan (mistisisme
islam); dan (4) kalam (teologi). Pergelutan Mulla Sadra dengan
esensi dan eksistensi Allah melahirkan sebuah system filsafat yang tertata.
Sadra menggunakan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transendental)
yang merupakan sinonim dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal
dengan filsafat hikmah.
Pembelaan dan usaha Mulla Shadra untuk menyebarkan
ajaran-ajaran gnostik (‘irfan) akhirnya membawanya kepada konflik dengan
para ahli hukum. Kalau bukan karena pengaruh ayahnya di pengadilan, barangkali
ia akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpa Suhrawardi. Sebagai
konsekuensi dari tekanan-tekanan tersebut, dia mengasingkan diri dari kehidupan
masyarakat dan berdiam diri disebuah dusun kecil di Kahak, dekat Qum, tempat
dia menghabiskan hari-harinya hingga tujuh atau menurut beberapa sumber sebelas
tahun untuk melakukan amalan-amalan tasawuf dan asketis.
Selain itu topik-topik yang menjadi kajian filosofis Mulla
Shadra meliputi:
a.
Pengukuhan kesatuan antara subjek (the knower)
dan objek pengetahuan (the known)
b.
Bukti kesementaraan alam (huduts).
c.
Pembuktian jenis ketunggalan yang dinamakan dengan
“kemanunggalansejati yang nyata” (al-wahdah al-haqqah al-haqiqiyyah).
d.
Pembuktian
bahwa benda yang terdiri dari materi (matter) dan bentuk (form)
merupakan gabungan yang terjadi melalui penyatuan (al-tarkib al-ittihadi
atau unification).
e.
Bukti atas eksistensi Wujud Wajib (the Necessary
Being) yang disebut dengan Burhan Al-Shiddiqin.dan Bukti khusus yang
didasarkan pada Burhan Al-shiddiqin bagi keesaan Wujud Wajib.
f.
Kajian mengenai masalah-masalah yang menyangkut
pengetahuan Tuhan dan pandangan bahwa pengetahuan-Nya terhadap suatu objek
bersifat sederhana dan tidak terkotak-kotak, namun pada saat yang sama bersikap
menyingkapkan semua perincian yang meliputinya (kasf tafsshili).
g.
Penegasan bahwa jiwa bersifat jasmani pada mulanya (jismaniyyah
al-baqa’)
h.
Pengkajian mengenai bashirah (penglihatan batin
atau vision) dan daya-daya pencerapan indriawi (sense-perception) lain.
i.
Ciri nonmaterial daya imajinasi. Dan Penegasan
pandangan bahwa jiwa dalam ketunggalannya
meliputi semua daya (al-nafs fi wahdatihah kullu al-quwa’)
j.
Penegasan pandangan bahwa yang universal (kulli)
terbentuk melalui sejenis sublimasi atau proses perubahan ke arasy yang lebih
tinggi (ta’ali), dan tidak semata-mata melalui abstraksi (tajrid wa
intizha).
k.
Bukti adanya kebangkitan fisik.
d. Pemikiran-pemikiran mulla shadra
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat
pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang
rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah
didasarkan pada tiga hal: ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi), tasykik
(gradasi wujud), gerak substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
1.
Ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi).
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya,
sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud
(eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan eksistensi
bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar,
gelap, tidak tertentu,negative, dan tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya
sendiri dan apapun yang ada pada-Nya adalah karena hubungan dengan eksistensi,
sedang eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan hubungannya dengan
eksistensi mutlak, yakni Tuhan. Bagi sadra, Tuhan adalah wujud mutlak dan apa
yang disebut sebagai akal terpisah oleh para filosof atau ide-ide tetap (a’yan
al-tsabithah oleh ibnu arabi, tidak mempunyai wujud eksternal tetapi hanya
merupakan kandungan dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya. Selanjutnya
jenis-jenis wujud atau eksistensi ini memperlihatkan karakteristik esensial
tertentu dalam fikiran. Ini persis dengan matahari yang sebagai sumber cahaya,
identik dengan cahaya yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa memunculkan
karakteristik yang berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
Dengan demikian pandangan Shadra di atas
bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi. Karena itu Tuhan sebagai yang
maha sempurna dan mutlak tidak mempunyai esensi dan sama sekali tidak dapat
dinisbatkan pada pemikiran konseptual.
2.
Tasykik (gradasi wujud)
Jika para filosof peripatetik itu
menganggap wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial
dalam hubungannya dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas
tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari
Suhrawardi, kita dapat membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya
matahari, ada cahaya lampu, ada cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan
predikat yang berbeda artinya. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada
binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai
tingkat intensitas dan manifestasi. Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi pada
wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi dalam
hierarki wujud ini adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang paling rendah
adalah Materi Awal, yang menjadi bahan segala bahan (maddah al mawadd
atau hayula atau hyle).
3.
Gerak Substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak
hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan
tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat dalam dunia
eksternal perubahan benda material dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain.
Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, kemudian merah. Ukuran, rasa,
berat juga selalu mengalami perubahan. Karena keberadaan aksiden bergantung
pada keberadaan substansi, maka perubahan aksiden terkait dengan perubahan
substansi juga. Semua benda material berubah. Dalam hubungan ini Shadra
mempertahankan sifat huduts (kebaharuan) dunia fisik, sifat tidak
permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat (yakni,
sebagai satuan ukuran kuantitas gerak)
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra
menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental).
Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah
Al-Ulya),lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat
tradisional. Dengan begitu, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sama persis dengan
filsafat pertama yang tak lain adalah filsafat umum. Selain itu Al-Hikmah
Muta’aliyah adalah mazhab pemikirannya dalam metafisika. Urutan dalam hal
pembahasan yang mendasari Al-Hikmah Al Muta’aliyah meliputi:
a.
Hakikat kemendasaran eksistensi (ashalah
al-wujud).dan Kemanunggalan wujud (wahdad al-wujud). Membahas
prinsip mengenai eksistensi dan esensi.
b.
Penuntasan masalah-masalah menyangkaut eksistensi
mental (al-wujud al-dzihni).Arti penting pembahasan eksistensi mental
adalah yang berkaitan dengan hubungan antara subjek pengetahuan dan objek
pengetahuan. Masalah ini terkait dengan pengetahuan kesadaran manusia dalam
menyingkap realitas. Menurut perspektif para filosof Islam, nilai pengetahuan
sepenuhnya bergantung pada pengertian gagasan dan eksistensi mental. Menolak
eksistensi mental sama dengan menolak nilai pengetahuan dan kesadaran manusia
secara mutlak.
c.
“keserbamungkinan yang membutuhkan” (al-imkan
al-faqri).
Para logikawan telah memaparkan dua jenis
keniscayaan esensial.Yang pertama keniscayaan esensial sementara. Sebagai contoh,
apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah “hewan rasional” (atau esensi
“empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah bahwa eksistensi manusia
terkait langsung dengan esensi kehewanan dan rasionalitasnya. Oleh karena itu,
tanpa rasionalitas pasti tidak ada manusia. Sedangkan dalam keniscayaan abadi,
hanya milik Allah
d.
Telaah tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan
sebab-akibat, peneguhan hubungan akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif;
dan pengakuan adanya efek kemaujudan (ontic/ watak) sebagai
“manifestasi” (tajali wa tasya’un).contoh: seorang ayah dan anak adalah
dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa
anak berasal dari ayah. Lalu terjadilah suatu hubungan diantara keduanya
sebagai hakikat ayah atau anak.
e.
Pengukuhan gerakan subtansial (al-harakah
al-jauhariyyah);Semua maujud alami dapat berubah karena kodrat alam itu
sendiri adalah potensi dan kesiapan. Perubahan bersifat seketika dan bertahap
seiring dengan perputaran waktu disebut dengan “gerak” (harakah).
4.
KESIMPULAN
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh
lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk
yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah
didasarkan pada tiga hal: ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi), tasykik
(gradasi wujud), gerak substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan
beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran
paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi).
filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental)
merupakan suatu sistem filsafat yang
koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena
filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual
dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama
kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat
sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang
dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang
sesungguhnya.
5.
PENUTUP
Demikian makalah filsafat islam yang dapat saya susun.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan
kritik dari pembaca sangat saya harapkan untuk kesempurnaan makalah
selanjutnya.terima kasih, semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Muthahhari, Murtadha. 2002. Filsafat
Hikmah:Pengantar Pemikiran Sadra. Bandung; Mizan.
Shadra, Mulla. 2001. Kearifan Puncak (Hikmah al-Arsyiah).Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Langganan:
Postingan (Atom)