Selasa, 11 Desember 2012

makalah filsafat islam


POKOK POKOK PEMIKIRAN MULLA SHADRA

MAKALAH
Tugas mata kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu :  Bpk.  Komarudin, M.Ag
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran (KPI)




 




    






Oleh:
Luluk inayati
101211063



FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


1.      PENDAHULUAN
Mulla shadra diakui oleh banyak kalangan sebagai salah satu filosof islam terbesar di sepabjang sejarah islam, sekurang-kurangnya dalam empat abad terakhir. Pengaruh milenialnya tampak dari kenyataan bahwa pemikirannya hamper selalu menjadi rujukan dalam pembicaraan tentang pembicaraan filsafat islam dewasa ini.
Filsafat Hikmah shadra memiliki posisi istimewa, dan menandai perkembangan menentukan, dalam lanskap filsafat islam. Keistimewaan itu, menurut Fazlur Rahman, seorang filosofis islam terkemuka yang melakukan kajian kritis atas pemikiran shadra , terletak pada kenyataan bahwa ia tidak hanya melakukan rekonsilisasi atau kompromi atas arus – arus pemikiran yang berkembang pada zamannya. tetepi bahkan melakukan sintesis yang orisinal lagi solit atas arus-arus pemikiran yang sebelumnya selalu dipandang sebagai saling berlawanan itu.
Dengan menyatupadukan empat aliran yang berbeda-beda, filsafat Hikmah dianggap menawarkan jalan keluar yang paling argumentatif atas problem yang diperdebatkan.

2.      RUMUSAN MASALAH
a.                         Kehidupan mulla shadra
b.                        Karya-karya mulla shadra
c.                         Sumber pemikiran mulla shadra
d.                        Pemikiran-pemikiran mulla shadra

3.      PEMBAHASAN
a.     Kehidupan mulla shadra
Shadra hidup kira-kira dari tahun 980 H/ 1571 M sampai 1050 H/1640M. kehidupannya sejauh yang kita ketahui, terutama dicurahkan pada study dan pengajaran filsafat dan teologi. Tahun-tahun masa dewasanya sebagian besar berhubungan dengan kekuasaan Syah ‘Abbas 1. Upaya-upaya praktis yang lebih langsung dari tulisannya banyak berhubungan dengan konflik-konflik dan kesempatan-kesempatan baru yang diciptakan oleh kekuasaan Syiah tersebut sebagai bentuk resmi agama.
Filsafat Shadra dan visinya yang lebih besar, meskipun simpatinya yang nyata, tidak dapat diidentifikasi secara sederhana dengan atau direduksi pada suatu posisi tunggal. Kemudian tujuan-tujuannya, adalah sungguh radikal atau tidak dalam pengertrian masih dari pergerakan lain dalam siklus aksi dan reaksi yang abadi dan sudah tua, tapi sebagai usaha prahmatis perlahan-lahan yang hati-hati menggeser para dikma yang menjadi landasan komunitas keseluruhan.
Shadra sangat sadar, pencapaian dari bentuk yang komprehensif ini yang mengharmoniskan pemahaman dari symbol-simbol trasendensi yang di syaratkan lebih dari sekedar sebuah konsepsi sintesis teologi-teologi yang berkonflik. Karena itu supaya bermakna dan efektif selamanya, rekonsilisasi konseptual dari tradisi-tradisi interprestasi tersebut harus ditampilkan dalam suatu cara yang akan membimbing para pembaca dari masing-masing tradisi. Pada saat yang sama mengarahkan setiap refleksi pembaca menuju perhatian-perhatian dan pertimbangan-pertimbangan yang falid yang mendasari titik-titik pandang yang secara nyata berlawanan. Tidak dapat dihindarkan akan muncul sangat berbeda sesuai dengan kapasitas particular setiap pembaca dan titik keberatannya.
b.     Karya-karya mulla shadra
Tulisan-tulisan Mulla Shadra hamper semuanya dalam bahasa arab yang terdiri dari tiga kategori:
1.      Komentar-komentar atas kitab
Prinsip-prinsip interpretative yang menbimbing dalam konsep-konsep dalam komentar-komentar ini adalah sama seperti dalam karya-karya filosofis sistematis Shadra. Komentar atas kitab yang independent ini, yang memfokuskan hamper seluruhnya pada pertanyaan-pertanyaan transendensi dan realisasi spiritual yang merupakan jantung dari filsafat Shadra, tampaknya mempunyai tujuan ganda.Shadra mengenali bahwa jenis persuasi tidak langsung ini adalah hanya satu-satunya cara yang benar dan efektif untuk mentrasformasikan pandangan terbatas yang sempit dari mayoritas para legalis dan para ulama Syiah yang berorientasi pada zamannya.


2.      Lembaran-lembaran incidental
Dalam kepura-puraan lahir yang dirahasiakan secara telanjang dari sebuah kritisisme tradisional ekses-ekses antinomian yang terkenal jahat dari para sufi tertentu yang vulgar. Hal ini menunjukkan sejenis isu-isu praktis yang mendasari dua perhatian kunci dalam semua tulisan yang lebih filosofis dari Shadra. Ia memperlihatkan peranan esensial dari jalan realisasi trasendensi untuk setiap pemahaman yang cocok dengan kehendak-kehendak wahyu dan mengklarifisasikan tujuan akhir dan konsekuensi-konsekuensi dari pengetahuan dan keyakinan yang lebih dikenal, untuk menghindarkan jebakan-jebakan.

3.      Tulisan-tulisan filosofis
Semua dari karya ini menganggap sebuah latar belakang ekstensif dan tradisi teologis dan filosofis, bagi lefel-lefel berbeda instruksi lisan dalam mazhab-mazhab teologis yang Shadra ajarkan didalamnya. Dan komentar-komentar tersebut merupakan penjelasan secara langsung dimana perspektif yang lebih orisinal dari Shadra. Untuk alas an-alasan ini, buku-buku sistematik dapat dipercaya memberikan sebuah gambaran luas yang komplit dari pemikiran yang dewasa dari Shadra.

c.      Sumber pemikiran mulla shadra

Dari tulisan-tulisannya, kita kita mengrtahui betapa kayanya bahan yang digunakan oleh mulla shadra. Dia mengutip sejak filsafat pra- Socrates hingga berbagai pemikiran-pemikiran yang hidup pada zamannya. S.H. Nashr bahkan menunjukkan mulla shadra sebagai sumber sejarah filsafat islam. Disebutkan empat sumber utama dari ajaran Mulla Shadra. Pertama, filsafat peribatetik islami, hususnya dari Ibnu shina dan melalui dialah filsafat Aristoteles dan Neo Platonis sebagian besar ajarannya telah menjadi bagian dari filsafat peripatetic islam. Kedua, teosofi Isyraqi dari Syuhrawardi dan para pensyarahnya. Ketiga, ajaran tasawuf dari Ibn’ Arabi dan pembahas ajarannya. Keempat, syariat islam, termasuk sabda Rosulullah dan Imam-imam Syi’ah.
Persoalan pertama yang digeluti oleh Mulla Sadra adalah persoalan metafisika yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Persoalan esensi dan eksistensi menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan menjadi: (1) Aliran paripatetik; (2) Filsafat iluminasionis; (3) Irfan (mistisisme islam); dan (4) kalam (teologi). Pergelutan Mulla Sadra dengan esensi dan eksistensi Allah melahirkan sebuah system filsafat yang tertata. Sadra menggunakan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transendental) yang merupakan sinonim dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal dengan filsafat hikmah.
Pembelaan dan usaha Mulla Shadra untuk menyebarkan ajaran-ajaran gnostik (‘irfan) akhirnya membawanya kepada konflik dengan para ahli hukum. Kalau bukan karena pengaruh ayahnya di pengadilan, barangkali ia akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpa Suhrawardi. Sebagai konsekuensi dari tekanan-tekanan tersebut, dia mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat dan berdiam diri disebuah dusun kecil di Kahak, dekat Qum, tempat dia menghabiskan hari-harinya hingga tujuh atau menurut beberapa sumber sebelas tahun untuk melakukan amalan-amalan tasawuf dan asketis.
Selain itu topik-topik yang menjadi kajian filosofis Mulla Shadra meliputi:
a.       Pengukuhan kesatuan antara subjek (the knower) dan objek pengetahuan (the known)
b.      Bukti kesementaraan alam (huduts).
c.       Pembuktian jenis ketunggalan yang dinamakan dengan “kemanunggalansejati yang nyata” (al-wahdah al-haqqah al-haqiqiyyah).
d.       Pembuktian bahwa benda yang terdiri dari materi (matter) dan bentuk (form) merupakan gabungan yang terjadi melalui penyatuan (al-tarkib al-ittihadi atau unification).
e.       Bukti atas eksistensi Wujud Wajib (the Necessary Being) yang disebut dengan Burhan Al-Shiddiqin.dan Bukti khusus yang didasarkan pada Burhan Al-shiddiqin bagi keesaan Wujud Wajib.
f.       Kajian mengenai masalah-masalah yang menyangkut pengetahuan Tuhan dan pandangan bahwa pengetahuan-Nya terhadap suatu objek bersifat sederhana dan tidak terkotak-kotak, namun pada saat yang sama bersikap menyingkapkan semua perincian yang meliputinya (kasf tafsshili).
g.      Penegasan bahwa jiwa bersifat jasmani pada mulanya (jismaniyyah al-baqa’)
h.      Pengkajian mengenai bashirah (penglihatan batin atau vision) dan daya-daya pencerapan indriawi (sense-perception) lain.
i.        Ciri nonmaterial daya imajinasi. Dan Penegasan pandangan  bahwa jiwa dalam ketunggalannya meliputi semua daya (al-nafs fi wahdatihah kullu al-quwa’)
j.        Penegasan pandangan bahwa yang universal (kulli) terbentuk melalui sejenis sublimasi atau proses perubahan ke arasy yang lebih tinggi (ta’ali), dan tidak semata-mata melalui abstraksi (tajrid wa intizha).
k.      Bukti adanya kebangkitan fisik.

d.     Pemikiran-pemikiran mulla shadra
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal: ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi), tasykik (gradasi wujud), gerak substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
1.      Ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi).
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya, sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud (eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar, gelap, tidak tertentu,negative, dan tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya sendiri dan apapun yang ada pada-Nya adalah karena hubungan dengan eksistensi, sedang eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan hubungannya dengan eksistensi mutlak, yakni Tuhan. Bagi sadra, Tuhan adalah wujud mutlak dan apa yang disebut sebagai akal terpisah oleh para filosof atau ide-ide tetap (a’yan al-tsabithah oleh ibnu arabi, tidak mempunyai wujud eksternal tetapi hanya merupakan kandungan dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya. Selanjutnya jenis-jenis wujud atau eksistensi ini memperlihatkan karakteristik esensial tertentu dalam fikiran. Ini persis dengan matahari yang sebagai sumber cahaya, identik dengan cahaya yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa memunculkan karakteristik yang berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
Dengan demikian pandangan Shadra di atas bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi. Karena itu Tuhan sebagai yang maha sempurna dan mutlak tidak mempunyai esensi dan sama sekali tidak dapat dinisbatkan pada pemikiran konseptual.
2.      Tasykik (gradasi wujud)
Jika para filosof peripatetik itu menganggap wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam hubungannya dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari Suhrawardi, kita dapat membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya matahari, ada cahaya lampu, ada cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan predikat yang berbeda artinya. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai tingkat intensitas dan manifestasi. Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi pada wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi dalam hierarki wujud ini adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang paling rendah adalah Materi Awal, yang menjadi bahan segala bahan (maddah al mawadd atau hayula atau hyle).
3.      Gerak Substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat dalam dunia eksternal perubahan benda material dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, kemudian merah. Ukuran, rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena keberadaan aksiden bergantung pada keberadaan substansi, maka perubahan aksiden terkait dengan perubahan substansi juga. Semua benda material berubah. Dalam hubungan ini Shadra mempertahankan sifat huduts (kebaharuan) dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat (yakni, sebagai satuan ukuran kuantitas gerak)
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental). Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah Al-Ulya),lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat tradisional. Dengan begitu, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sama persis dengan filsafat pertama yang tak lain adalah filsafat umum. Selain itu Al-Hikmah Muta’aliyah adalah mazhab pemikirannya dalam metafisika. Urutan dalam hal pembahasan yang mendasari Al-Hikmah Al Muta’aliyah meliputi:
a.       Hakikat kemendasaran eksistensi (ashalah al-wujud).dan Kemanunggalan wujud (wahdad al-wujud). Membahas prinsip mengenai eksistensi dan esensi.
b.      Penuntasan masalah-masalah menyangkaut eksistensi mental (al-wujud al-dzihni).Arti penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan hubungan antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Masalah ini terkait dengan pengetahuan kesadaran manusia dalam menyingkap realitas. Menurut perspektif para filosof Islam, nilai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengertian gagasan dan eksistensi mental. Menolak eksistensi mental sama dengan menolak nilai pengetahuan dan kesadaran manusia secara mutlak.
c.       “keserbamungkinan yang membutuhkan” (al-imkan al-faqri).
Para logikawan telah memaparkan dua jenis keniscayaan esensial.Yang pertama keniscayaan esensial sementara. Sebagai contoh, apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah “hewan rasional” (atau esensi “empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan esensi kehewanan dan rasionalitasnya. Oleh karena itu, tanpa rasionalitas pasti tidak ada manusia. Sedangkan dalam keniscayaan abadi, hanya milik Allah
d.      Telaah tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan sebab-akibat, peneguhan hubungan akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif; dan pengakuan adanya efek kemaujudan (ontic/ watak) sebagai “manifestasi” (tajali wa tasya’un).contoh: seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu terjadilah suatu hubungan diantara keduanya sebagai hakikat ayah atau anak.
e.       Pengukuhan gerakan subtansial (al-harakah al-jauhariyyah);Semua maujud alami dapat berubah karena kodrat alam itu sendiri adalah potensi dan kesiapan. Perubahan bersifat seketika dan bertahap seiring dengan perputaran waktu disebut dengan “gerak” (harakah).

4.      KESIMPULAN
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal: ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi), tasykik (gradasi wujud), gerak substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan  suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang sesungguhnya.

5.      PENUTUP
Demikian makalah filsafat islam yang dapat saya susun. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat saya harapkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.terima kasih, semoga bermanfaat.




DAFTAR PUSTAKA
 Muthahhari, Murtadha. 2002. Filsafat Hikmah:Pengantar Pemikiran Sadra. Bandung; Mizan. 
 Shadra, Mulla.  2001. Kearifan Puncak (Hikmah al-Arsyiah).Yogyakarta: Pustaka Pelajar


1 komentar: